Aku adalah
seorang anak tunggal dari sebuah keluarga yang sederhana yang tinggal di
pinggiran kota. Walaupun anak satu-satunya, sejak kecil ia seringkali dimarahi
oleh ayahnya, di mata sang ayah, tidak ada satupun pekerjaan yang benar. Setiap
harinya, Lira selalu berusaha keras untuk mengerjakan sesuatu yang diinginkan
oleh ayahnya. Tetapi tetap saja, karena hanya ketidakpuasan sang ayah yang ia
dapatkan.
Begitupun
juga pada saat Lira berusia 17 tahun, tidak ada ucapan kalimat “Selamat ulang
tahun” yang keluar dari mulut ayahnya. Dan semua hal tersebut membuat Lira
semakin membenci ayahnya. Karena sosok ayah yang ada dalam dirinya, adalah
sosok seorang ayah yang pemarah dan juga tidak pernah memperhatikan dirinya.
Hingga akhirnya, Lira pun memberontak dan tidak pernah satu haripun ia lalui
hari tanpa bertengkar dengan ayahnya.
Beberapa
hari setelah ulang tahunnya yang ke-17, ayahnya meninggal dunia. Akibat penyakit
kanker yang tidak pernah beliau katakan kepada siapapun, kecuali pada istrinya.
Walaupun merasa sedih dan kehilangan, tetapi di dalam diri Lira masih tersimpan
rasa benci terhadap ayahnya. Hingga sampai suatu hari ketika Lira membantu
ibunya membereskan barang-barang peninggalan almarhum ayahnya, ia menemukan
sebuah bingkisan yang dibungkus dengan rapi, dan di atasnya tertulis, ‘Untuk
anakku tersayang’.
Dengan
hati-hati, diambilnya bingkisan tersebut, dan Lira pun mulai membukanya. Di
dalam bingkisan tersebut, terdapat sebuah jam tangan serta sebuah buku lama
yang ia inginkan. Selain kedua benda itu, terdapat sebuah kartu ucapan berwarna
merah muda yang merupakan warna kesukaan Lira. Perlahan ia membuka kartu ucapan
tersebut, dan mulai membaca tulisan yang ada disana.
“Ya
Tuhan, terima kasih karena Engkau telah mempercayai diriku yang rendah ini
untuk memperoleh karunia tersebut dalam hidupku. Ku mohon ya Tuhan, jadikan
buah kasih hamba ini menjadi orang yang berarti bagi sesama dan juga bagiMu. Janganlah
kau berikan jalan yang lurus dan luas membentang baginya, tetapi berikan pula
jalan yang penuh liku dan duri, agar dia dapat meresapi kehidupan yang
seutuhnya. Sekali lagi ku mohon ya Tuhan, sertailah anakku dalam setiap langkah
yang ia tempuh, jadikan ia sesuai dengan kehendakmu.
Selamat
ulang tahun anakku, doa ayah selalu menyertaimu”.
Tulisan
dalam kartu itu membuat air mata Lira tak terbendung lagi. Ibunya menghampiri
dan menanyakan apa yang telah terjadi. Dalam pelukan ibunya, Lira pun menceritakan
tentang isi dan tulisan yang terdapat dalam bingkisan peninggalan ayahnya itu.
Sang
ibu, lalu menceritakan bahwa ayahnya memang sengaja merahasiakan penyakit yang
diderita sejak lama. Dan sengaja mendidikmu dengan keras, agar kamu kelak
menjadi sosok wanita yang kuat dan tegar.
Cerita
inspiratif di atas mengingatkan kita untuk tidak selalu melihat apa yang kita
lihat dengan kedua mata kita. Tetapi lihat juga sesuatu dengan mata hati kita.
Karena apa yang kita lihat dengan kedua mata kita, terkadang tidak sepenuhnya
seperti apa yang sebenarnya terjadi. Kasih sayang seorang ayah, Ibu,
saudara-saudara, atau orang-orang disekitar kita, dan terutama kasih Yang Maha
Kuasa yang dilimpahkan kepada kita dengan berbagai cara. Hanyalah tinggal
bagaimana cara kita menerima, menyerap, mengartikan, dan membalas kasih sayang
itu.
0 komentar:
Posting Komentar