Seorang pria berumur 25 tahun bernama Asep Junaidi menghidupi keluarganya dengan membuka sebuah toko
berukuran 3 x 4 meter di sebuah jalan di Desa Pandanwangi. Tiada yang mendampingi
hidupnya di rumah selain Asih, istrinya. Sudah puluhan tahun berumah tangga,
Allah Swt Sang Maha Pencipta belum berkenan memberikan mereka keturunan.
Namun baik Asep dan
Asih adalah model makhluk Tuhan yang menerima segala ketetapan. Mereka selalu
menghiasi hidup dengan pengharapan terhadap Tuhan. Bersyukur atas segala nikmat
yang mereka terima, dan bersabar atas segala ujian yang diberikan.
Hampir dua puluh tahun
mereka menabung demi mewujudkan cita-cita. Sebuah cita-cita mulia yang mereka
tanamkan dalam hati, untuk berangkat haji ke Baitullah, Mekkah Al Mukarramah.
Dengan hasil dagang di toko yang seadanya, sedikit demi sedikit mereka sisihkan
untuk menggapai cita-cita itu. Hanya ibadah haji saja dalam benak mereka yang
belum pernah mereka lakukan. Keinginan itu terus membuncah, menggelegak dalam
dada seorang hamba yang rindu akan keridhaan Tuhannya.
Hasil tabungan yang
mereka kumpulkan tidak mereka tabung di bank. Sengaja uang sejumlah itu mereka
simpan agar dapat memotivasi semangat mereka untuk mencari tambahan uang
sesegera mungkin. Sungguh dua puluh tahun dalam menabung, merupakan masa yang
cukup panjang untuk bersabar demi mewujudkan ketaatan kepada Tuhan. Tidak
banyak, manusia modern di zaman sekarang yang mampu memiliki niat sedemikian.
Malam itu, Asep dan
Asih sekali lagi menghitung jumlah tabungan mereka. Uang yang mereka simpan
untuk berhaji itu kini berjumlah Rp. 50.830.000. Sementara biaya haji pada saat
itu berkisar kurang lebih Rp 27 juta per orang, belum lagi biaya bimbingan haji
yang harus mereka ikuti, ditambah dengan uang jajan tambahan untuk membeli
oleh-oleh. Mereka menghitung, kurang lebih mereka memerlukan dana berkisar Rp
10 juta.
Setiap malam berlalu,
Asep dan Asih selalu menghitung peruntungan jualan mereka, dan sebagiannya
mereka sisihkan untuk mewujudkan cita-cita berhaji.
Suatu pagi, Asep
mendengar kabar bahwa kawan karibnya dalam berjamaah shalat di Masjid As
Shabirin jatuh sakit secara mendadak dan kini dirawat di RS. Dr. Hasan Sadikin.
Setelah divisum oleh dokter rupanya penyakit yang diderita tetangga sekaligus
kawan karibnya itu adalah penyakit tumor tulang. Sebuah penyakit yang jarang
terjadi pada masyarakat Indonesia.
Bersegeralah, Asep
menjenguk kawan karibnya itu. Sesampainya di sana, sahabat tersebut masih
berada di ruang ICU dan untungnya masih sadarkan diri sehingga dapat melakukan
percakapan dengan Asep. Dari penuturannya Asep mengetahui bahwa tumor tulang
tersebut telah membuat tetangganya tidak mampu untuk berdiri lagi, dan tumor
tersebut harus diangkat segera. Sebab bila tidak, maka tumor tersebut dapat
menjalar ke bagian tubuh lain.
Asep bergidik
mendengarnya. Namun ia masih terus membesarkan hati sahabatnya itu untuk
senantiasa tawakkal dan berdoa kepada Allah Swt Yang Maha Menyembuhkan setiap
penyakit hamba-Nya.
Hampir setiap hari Asep
menjenguk sahabatnya itu. Pada hari kedelapan, sahabatnya itu telah dipindah ke
ruang rawat inap kelas 3, bersama tujuh pasien lainnya dalam satu kamar. Kamar
tersebut pengap dengan bau obat, dan tidak layak disebut sebagai kamar rumah
sakit. Pemandangan yang berantakan. Jemuran baju pasien dan pendamping yang
bertebaran di sepanjang jendela. Seprai kasur yang tidak rapi. Tikar dan koran
bertebaran di pojok-pojok kamar. Itu semua membuat pemandangan kamar menjadi
tidak asri dan pengap.
Namun apa mau dikata,
tetangganya adalah seorang yang mungkin memilik nasib sama dengan jutaan orang
di Indonesia. Sudah masuk rumah sakit saja Alhamdulillah, nggak tahu bayarnya
pakai apa?
Hari itu adalah hari
kesebelas sahabatnya dirawat di rumah sakit. Kebetulan Asep sedang berada di
sana, seorang perawat membawakan sebuah surat dari rumah sakit bahwa untuk
membuang tumor yang berada di sendi-sendi tulang pasien haruslah dijalankan
sebuah operasi. Operasi itu akan menelan biaya hampir Rp 50 juta. Bila keluarga
pasien mengharapkan kesembuhan, maka operasi tersebut harus dilakukan. Namun
kalau mau berpasrah kepada takdir Tuhan, maka tinggal berdoa saja agar terjadi
keajaiban.
Siapa orangnya yang
tidak mau sembuh dari penyakit? Semua orang pun berharap sedemikian. Namun mau
bilang apa? Keluarga sahabat Asep tersebut sudah menguras habis tabungan yang
mereka miliki, namun itu semua untuk bayar biaya rumah sakit selama ini saja
tidak cukup. Apalagi untuk membiayai proses operasi? Sungguh, yang mampu mereka
lakukan adalah memohon pertolongan kepada Allah Swt.
Hari kedua belas,
ketiga belas, keempat belas.... kondisi pasien semakin parah. Badannya terlihat
kurus tak bertenaga. Kelemahan itu terlihat jelas dalam sorot cahaya mata yang
kian meredup. Sang pasien tidak mampu lagi menanggapi lawan bicara. Tumor itu
semakin mengganas dan menjalar ke seluruh tubuh. Pemandangan itu semakin
menyentuh relung hati Asep yang terdalam. Maka di pinggir ranjang sahabatnya,
Asep pun mengambil sebuah keputusan besar.
Setelah berpamitan
dengan keluarga sahabatnya, ia bergegas pulang menuju rumah. Di sana terlihat
olehnya Asih sedang melayani pembeli yang datang ke toko sederhana milik
mereka. Saat pembeli sudah sepi, Asep lalu menyampaikan keputusannya itu kepada
Asih.
“Bu..., Kang Endi
tetangga kita yang sedang di rawat di rumah sakit itu kondisinya semakin
memburuk. Bapak tidak sanggup melihat penderitaannya. Sepertinya kita harus
bantu dia dan keluarganya. Tiga hari lalu, kebetulan bapak sedang di sana,
seorang suster memberitahukan bahwa Kang Endi harus dioperasi segera.
Keluarganya belum berani menyatakan iya, sebab biaya operasi itu hampir Rp 50
juta....” Asep membuka pembicaraannya dengan kalimat yang panjang.
Asih pun mulai merasa
iba dengan penderitaan Kang Endi dan keluarganya, “Kasihan mereka ya, Pak! Kita
bisa bantu apa...?” Asep pun langsung menyambung dengan cepat, “Kalau ibu
berkenan, bagaimana bila dana tabungan haji kita diberikan saja kepada mereka
semua untuk biaya operasi?” Kalimat itu diakhiri dengan sebuah senyum merekah
di bibir Asep.
“Diberikan....?!! Waduh
pak..., hampir dua puluh tahun kita nabung dengan susah payah agar cita-cita
berhaji dapat diwujudkan. Masa bisa pupus seketika dengan membantu orang lain
yang bukan saudara kita?” Asih mengajukan penolakan atas usulan suaminya.
“Bu...., banyak orang
yang berhaji belum tentu mabrur di sisi Allah. Mungkin ini adalah jalan buat
kita untuk meraih keridhaan Allah Swt. Biarkan kita hanya berhaji di pekarangan
rumah kita sendiri, tidak perlu ke Baitullah. Bapak yakin bila kita menolong
saudara kita, Insya Allah, kita akan ditolong juga oleh Dia Yang Maha Kuasa.”
Kalimat itu meluncur dari mulut Asep dan menohok relung hati Asih sehingga
begitu membekas di dasarnya. Tak kuasa, Asih pun mengangguk dan setuju atas
usul suaminya.
Keesokan pagi, Asep dan
Asih pun datang berdua ke rumah sakit untuk menjenguk. Toko mereka ditutup hari
itu. Mereka berdua datang ke rumah sakit dengan membawa sebuah amplop tebal
berisikan uang sejumlah Rp 50 juta yang tadinya mereka siapkan untuk berhaji.
Keduanya tiba di rumah
sakit dan menjumpai Kang Endi dan keluarganya di sana. Usai membacakan doa
untuk pasien, keduanya datang kepada istri Kang Endi. Mereka serahkan sejumlah
uang tersebut, dan suasana menjadi haru seketika. Bagi keluarga Kang Endi ini
adalah moment dimana doa diijabah oleh Tuhan. Sementara bagi Asep dan Asih, ini
merupakan saat dimana keikhlasan menolong saudara harus ditunjukkan. Lalu
pulanglah Asep dan Asih ke rumah setelah berpamitan kepada keluarga.
Uang itu kemudian
segera dibawa oleh salah seorang anggota keluarga ke bagian administrasi rumah
sakit. Formulir kesediaan menjalani operasi telah diisi. Besok pagi jam 08.00
operasi pengangkatan tumor di sendi-sendi tulang Kang Endi akan dilakukan.
Alhamdulillah!
Esoknya Kang Endi sudah
dibawa ke ruang operasi. Sebelum dioperasi, dokter spesialis tulang yang selama
ini menangani Kang Endi sempat berbincang dengan keluarga. “Doakan ya agar
operasi berjalan lancar dan Pak Endi semoga lekas sembuh! Kalau boleh tahu...,
darimana dana operasi ini didapat?” Dokter mencetuskan pertanyaan tersebut,
karena ia tahu sudah berhari-hari pasien tidak jadi dioperasi sebab keluarga
tidak mampu menyediakan dananya.
Istri Kang Endi
menjawab, “Ada seorang tetangga kami bernama pak Asep yang membantu,
Alhamdulillah dananya bisa didapat, Dok!” “Memangnya, beliau usaha apa? Kok mau
membantu dana hingga sebesar itu?” Dibenak dokter, pastilah pak Asep adalah
seorang pengusaha sukses.“Dia hanya punya usaha toko kecil di dekat rumah kami.
Saya saja sempat bingung saat dia dan istrinya memberikan bantuan sebesar itu!”
Istri Kang Endi menambahkan.
Di dalam hati, dokter
kagum dengan pengorbanan pak Asep dan istrinya. Hatinya mulai tergerak dan
berkata, “Seorang pak Asep yang hanya punya toko kecil saja mampu membantu
saudaranya. Kamu yang seorang dokter spesialis dan kaya raya, tidak tergerak
untuk membantu sesama.” Suara hati itu terus membekas dalam dada pak dokter.
Pembicaraan itu usai, dan dokter pun masuk ke ruang operasi.
Alhamdulillah operasi
berjalan sukses dan lancar. Ia memakan waktu hingga 4 jam lebih. Semua tumor
yang berada pada tulang Kang Endi telah diangkat. Seluruh keluarga termasuk
dokter dan perawat yang menangani merasa gembira.
Kang Endi tinggal
menjalani masa penyembuhan pasca operasi. Pak Asep masih sering menjenguknya.
Suatu hari kebetulan pak dokter sedang memeriksa kondisi Kang Endi dan pak Asep
pun sedang berada di sana. Keduanya pun berkenalan. Pak dokter memuji keluasan
hati pak Asep. Pak Asep hanya mampu mengembalikan pujian itu kepada Pemiliknya,
yaitu Allah Swt. Hingga akhirnya, pak dokter meminta alamat rumah pak Asep
secara tiba-tiba.
Beberapa minggu setelah
Kang Endi pulang dari rumah sakit. Malam itu, Asep dan Asih tengah berada di
rumahnya. Toko belum lagi ditutup, tiba-tiba ada sebuah mobil sedan hitam
diparkir di luar pagar rumah. Nampak ada sepasang pria dan wanita turun dari
mobil tersebut. Cahaya lampu tak mampu menyorot wajah keduanya yang kini datang
mengarah ke rumah pak Asep. Begitu mendekat, tahulah pak Asep bahwa pria yang
datang adalah pak dokter yang pernah merawat sahabatnya kemarin.
Gemuruh suasana hati
Asep. Ia terlihat kikuk saat menerima kehadiran pak dokter bersama istrinya.
Terus terang, seumur hidup, pak Asep belum pernah menerima tamu agung seperti
malam ini.
Maka dokter dan
istrinya dipersilakan masuk. Setelah disuguhi sajian ala kadarnya, maka mereka
berempat terlibat dalam pembicaraan hangat. Tidak lama pembicaraan kedua
keluarga itu berlangsung. Hingga saat pak Asep menanyakan maksud kedatangan pak
dokter dan istri. Maka pak dokter menjawab bahwa ia datang hanya untuk
bersilaturrahmi kepada pak Asep dan istri.
Pak dokter menyatakan
bahwa ia terharu dengan pengorbanan pak Asep dan istri yang telah rela membantu
tetangganya yang sakit dan memerlukan dana cukup besar. Ia datang
bersilaturrahmi ke rumah pak Asep hanya untuk mengetahui kondisi pak Asep dan
belajar cara ikhlas membantu orang lain yang sulit ditemukan di bangku kuliah.
Semua kalimat yang diucapkan oleh pak dokter dielak oleh pak Asep dengan bahasa
yang selalu merendah.
Tiba-tiba pak dokter
berujar, “Pak Asep dan ibu...., saya dan istri berniat untuk melakukan haji
tahun depan. Saya mohon doa bapak dan ibu agar perjalanan kami dimudahkan Allah
Swt... Saya yakin doa orang-orang shaleh seperti bapak dan ibu akan dikabul
oleh Allah...” Baik Asep dan Asih menjawab serentak dengan kalimat, “Amien...!”
Pak dokter menambahkan,
“Selain itu, biar doa bapak dan ibu semakin dikabul oleh Allah untuk saya dan
istri, ada baiknya bila bapak dan ibu berdoanya di tempat-tempat mustajab di
kota suci Mekkah dan Madinah...” Kalimat yang diucapkan pak dokter kali ini
sama-sama membuat bingung Asep dan Asih sehingga membuat mereka berani
menanyakan, “Maksud pak dokter....?”
“Ehm..., maksud saya,
izinkan saya dan istri mengajak bapak dan ibu Asep untuk berhaji bersama kami
dan berdoa di sana sehingga Allah akan mengabulkan doa kita semua!”
Kalimat itu berakhir
menunggu jawaban. Sementara jawaban yang ditunggu tidak kunjung datang hingga
air mata keharuan menetes di pipi Asep dan Asih secara bersamaan. Beberapa
menit keharuan meliputi atmosfir ruang tamu sederhana milik Asep dan Asih.
Seolah bagai rahmat Tuhan yang turun menyirami ruh para hamba-Nya yang
senantiasa mencari keridhaan Tuhan.
Asep dan Asih hanya
mampu mengucapkan terima kasih berulang-ulang. Usai pak dokter pulang, keduanya
tersungkur sujud mencium tanah tanda rasa syukur yang mendalam mereka sampaikan
kepada Allah Yang Maha Pemurah. Akhirnya, mereka berempat pun menjalankan haji
di Baitullah demi mencari keridhaan Allah Azza wa Jalla.
Sungguh, kesabaran
panjang yang diakhiri dengan pengorbanan kebaikan, akan berbuah di tangan Allah
Swt menjadi balasan yang besar dan anugerah yang tiada terkira.
Keikhlasan dan
ketulusan memang tak berharap apa-apa kecuali ridha Allah. Dan Allah SWT pula
yang menentukan balasan terbaik bagi hamba-Nya, bisa di dunia atau juga di akhirat
kelak. Percayalah dan yakinkan diri dengan hal terbaik yang dijalani. Allah
Pasti Tahu.
0 komentar:
Posting Komentar